Menilik Urgensi Permintaan Maaf Negara Terhadap Kesalahan di Masa Lampau

OLEH : UCIHA ITACHI
Raja Willem-Alexander Belanda mengungkapkan permintaan maaf atas kekerasan yang dilakukan Belanda pada Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia tahun 1945. Ungkapan tersebut disampaikan dalam kunjungan kenegaraan pada 10 Maret 2020 di Istana Bogor. “Selaras dengan pernyataan pemerintah saya sebelumnya, saya ingin menyampaikan penyesalan saya dan permohonan maaf untuk kekerasa yang berlebihan dari Belanda pada tahun-tahun tersebut.” Ujar Raja Willem dalam pernyataan pers bersama Presiden Joko Widodo, dikutip dari media berita Republika. Setelah kurang lebih 50 tahun, akhirnya pemerintah Belanda mengakui telah melakukan kekerasan pasca kemerdekaan Indonesia.
Ungkapan permintaan maaf dari pemimpin negara sebenarnya bukan pertama kali dilakukan oleh Raja Willem-Alexander. Beberapa pemimpin negala lain pun pernah melakukan hal yang serupa. Shinzo Abe, perdana menteri Jepang pernah meminta maaf kepada seluruh Negara-negara yang pernah dijajah dan dirugikan oleh Jepang pada peringatan berakhirnya perang dunia II pada tanggal 14 Agustus 2015. Shinzo Abe juga meminta maaf kepada para jugun ianfu (budak seks) dari berbagai Negara, terutama kepada Korea Selatan yang telah lama menuntut pertanggungjawaban Jepang atas warga-warganya yang banyak dijadikan jugun ianfu. Presiden Jerman, Frank-Walter Steinmeier, meminta maaf juga kepada Polandia atas apa yang pernah Nazi lakukan di Negara tersebut di peringatan 80 tahun berakhirnya perang dunia II 1 September 2019. Beberapa pihak mentafsirkan bahwa mengakui kesalahan ini beresiko karena berkaitan dengan kewibawaan negara di hadapan negara lain. Lantas bagaimana dengan pemerintah Indonesia saat ini? Apakah setelah menerima permintaan maaf, pemerintah juga akan meminta maaf melalui sebuah pernyataan pers?
Fakta bahwa telah terjadi pelanggaran HAM oleh negara ini sudah menjadi rahasia umum. Sebut saja mulai dari peristiwa 1965, pelanggaran HAM yang dilakukan pada orang-orang di Timor Leste sebelum mereka menyatakan kemerdekaanya sendiri. Peristiwa Trisakti tahun 1998, Semanggi I dan II, dan berbagai kasus pelanggaran HAM lainya. Namun kasus-kasus tersebut terus dibiarkan dan meninggalkan korban yang terus menuntut keadilan. Kita mengetahui bahwa Indonesia telah memiliki instrument hukum yang memberikan tempat bagi tegaknya dan diakuinya hak asasi manusia, diantaranya Undang-Undang no. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, dan Undang-Undang nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak asasi manusia serta diberlakukanya Undang-Undang no.12 tahun 2015 tentang Pengesahan International Covenant On Civil and Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik). Artinya pemerintah seharusnya secara langsung sudah dapat mengetahui apa saja yang bisa dikategorikan sebagai pelanggaran HAM dan melakukan segala upaya untuk mencegah hal itu terjadi. Pemerintah tidak dapat terus mengabaikan fakta bahwa telah terjadi pelanggaran HAM dan terus luput untuk menyelesaikanya. Pemintaan maaf seharusnya sudah menjadi hal yang dipertimbangkan untuk dilakukan demi korban.
Pertanyaan- pertanyaan mengenai kapan pemerintah akan meminta maaf, sebetulnya telah menjadi persoalan lama. Selain perihal kapan negara akan meminta maaf, timbul juga pertanyaan apakah pemerintah seharusnya meminta maaf? Pertanyaan tersebut bukan berarti apakah negara harus mengakui kesalahan atau tidak, tetapi ketika luka para korban sudah terlalu dalam dan kasus dibiarkan begitu saja tanpa adanya pengadilan bagi yang bersalah, bukankah permintaan maaf saja hanya akan menjadi formalitas belaka? Atau justru kita perlu melihat permintaan maaf negara sebagai pintu bagi penyelesaian kasus HAM di Indonesia? Untuk mengetahuinya, mari kita lihat bagaimana permintaan maaf dari pemerintah ini berlangsung pada penyelesaian peristiwa 1965.
Sebagai pemegang pemerintahan yang berlangsung tidak jauh dari peristiwa itni terjadi, Presiden ke-4 Indonesia, Abdurahman Wahid yang lebih kita kenal sebagai Gus Dur, pernah menyatakan permintaan maaf atas peristiwa pembunuhan dan penangkapan terhadap orang-orang yang dituduh sebagai PKI pada masa orde baru. Beliau pun kemudian mencabut TAP MPRS no. XXV/1966 tentang pembubaran PKI sebagai organisasi terlarang dan segala bentuk aktivitasnya. Publik dibuat terkejut atas pernyataan tersebut karena saat itu masih tersisa reruntuhan orde baru dan langkah tersebut dinilai berani.
Dalam perspektif beberapa korban peristiwa 1965, permintaan maaf ini tidak dengan semudah itu diterima. Penderitaan yang dialami korban telah berlangsung begitu lama dengan berbagai kerugian baik materil dan imateril yang ditanggung. Pramoedya Ananta Toer, sastrawan yang dibuang ke Pulau Buru semasa orde baru, merupakan salah satu orang yang menolak permintaan maaf yang disampaikan Gus Dur tersebut. Beliau menganggap permintaan maaf tersebut basa basi, seperti yang ia nyatakan dalam surat balasanya untuk Goenawan Muhammad yang menyurati terkait dengan sikap nya atas permintaan maaf Gus Dur, secara terbuka dan di publikasikan dalam majalah tempo edisi 9 April 2000 . “Yang saya inginkan adalah tegaknya hukum dan keadilan di Indonesia. Orang seperti saya menderita karena tiadanya hukum dan keadilan. Saya kira masalah ini urusan Negara, menyangkut DPR dan MPR, tetapi mereka tidak berbicara apa-apa. Itu sebabnya saya menganggapnya sebagai basa-basi” jelasnya dalam surat tersebut. BBC Indonesia juga sempat mewawancara korban peristiwa 1965 dan bertanya soal bagaimana apabila negara meminta maaf. Yadiono, 79 tahun, yang ditangkap karena dituduh sebagai anggota PKI juga menolak permintaan maaf negara. “Untuk apa permintaan maaf itu? Kembalikan nama baik kami. Tidak ada guna meminta maaf, kami ini tidak salah dan dibuang tanpa pernah diadili. Bagaimana dengan hukum di negara ini.” Ujar Yadiono.
Dari apa yang telah dikemukakan, kita dapat melihat di satu sisi permintaan maaf dari negara tidak sepenuhnya membuat korban lepas dari perasaan trauma. Berbagai perlakuan yang mereka hadapi ketika dan pasca kejadian sulit untuk mereka bayangkan kembali. Tentu menyalahkan korban yang tidak dapat menerima pernyataan permintaan maaf (saja) juga bukanlah sesuatu yang benar. Dengan adanya ketidakpuasan ini, kita dapat melihat bahwa ternyata permintaan maaf dirasa tidak dapat menjadi tanda-tanda akan tegaknya keadilan bagi para korban. Wajar apabila korban tidak puas akan sebuah permintaan maaf dan cenderung menganggap permintaan maaf hanyalah formalitas belaka. Kita juga mengetahui bahwa yang paling penting adalah bagaimana keadilan itu ditegakan, bagaimana korban-korban kembali mendapatkan rasa aman dan dijamin keberlangsungan hidupnya, bagaimana kemudian pelaku-pelaku dari kasus-kasus tersebut dapat diadili.
Selanjutnya, mari kita lihat reaksi akan permintaan maaf dari Gus Dur ini dari sisi yang lain. Di wawancara yang sama, BBC Indonesia bertanya kepada Tedjabayu Sudjojono, aktivis organisasi pemuda CGMI, yang ditangkap dan dibuang ke Pulau Buru. Dalam menanggapi bagaimana apabila negara meminta maaf, beliau berkata tidak mengharap banyak, walaupun teman-teman nya mengharapkan kompensasi, tetapi mereka ingin pemerintah meminta maaf, urusan kompensasi masalah nanti. Apabila pemerintah tidak minta maaf dan bahkan menghukum mereka tidak masuk akal. Malah akan membangkitkan dendam. Permintaan maaf juga dapat disambut dan ditunggu oleh korban. Artinya dari apa yang beliau utarakan, kita bisa tahu bahwa permintaan maaf juga masih berarti penting. Masih tentang penyelesaian kasus yang sama, dikutip dari Historia.id, dalam sebuah simposium nasional “Membedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan.”, Prof. Ariel Heryanto mengemukakan pendapatnya mengenai keharusan pemerintah untuk meminta maaf. Dalam acara tersebut beliau berbicara bahwa peristiwa 1965 ini merupakan konflik vertikal (konflik antara negara dan warga negara nya) dan pemerintah harus meminta maaf. Menurutnya, dalam hal ini pemerintah adalah wakil dari negara itu. Walaupun pemerintah bisa datang dan pergi, terpilih dan jatuh, tetapi negaranya tidak. Kalau pemerintah yang sekarang atau sebelumnya belum siap atau menolak meminta maaf, tidak berarti utang negara itu lunas. Selain itu desakan agar pemerintah meminta maaf juga datang setelah era Gus Dur. Melalui siaran pers yang dimuat dalam situsnya pada tanggal 12 Maret 2020, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) mendorong pemerintah untuk mengakui, menyesali, dan meminta maaf atas berbagai kasus pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu dan menyiapkan langkah dan tindakan untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM baik secara yudisial maupun non yudisial. Dalam tulisan yang sama, ELSAM menerangkan pula bahwa PBB telah menegaskan bahwasanya permintaan maaf merupakan langkah yang wajib dilakukan oleh negara sebagai salah satu bentuk reparasi hak-hak korban pelanggaran HAM berat masa lalu. Oleh karena itu, tidak ada alasan bagi negara untuk tidak meminta maaf. Selain Prof. Ariel Heryanto dan ELSAM, masih banyak lagi kalangan-kalangan lain mulai dari akademisi, LSM, dan aktivis HAM yang mendorong pemerintah untuk segera meminta maaf.
Permintaan maaf negara secara resmi merupakan momentum yang paling ditunggu oleh banyak orang. Permintaan maaf dapat menjadi hal yang paling dasar yang dapat negara lakukan untuk mengakui bahwa pelanggaran HAM itu ada dan dilakukan. Dengan meminta maaf, artinya negara dapat menegaskan bahwa negara memiliki komitmen untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM. Dibahas dalam artikel tirto.id yang bertajuk “Belgia Minta Maaf atas Kejahatan Masa Lalu, Indonesia Kapan?”, permintaan maaf mencerminkan relasi antara korban, negara, dan pelanggaran HAM di masa lalu. Negara dengan mengakui kesalahan tersebut, dapat mempelajarinya dan mencegah hal yang sama terulang kembali. Proses ini dapat membantu menegaskan kembali hak-hak mereka sebagai warga negara, dan membuat mereka kembali

percaya bahwa mereka masih memiliki nilai dalam mata negara.
Setelah melihat bagaimana reaksi atas permintaan maaf Gus Dur dari berbagai sisi dan bagaimana beberapa kalangan melihat urgensi permintaan maaf pemerintah, pada akhirnya yang kembali kita pertanyakan adalah komitmen negara. Kita tidak dapat menolak untuk melihat bahwa permintaan maaf tersebut dapat menimbulkan suka atau justru menambah luka bagi korban. Permintaan maaf pemerintah merupakan pintu bagi penyelesaian kasus HAM di Indonesia. Namun permintaan maaf tersebut harus dibarengi pula dengan tindakan tegas pemerintah untuk mengadili para pelaku, membuka mata akan bukti-bukti yang telah ada, memberikan kompensasi pada korban dan atau menyelesaikan kasus-kasus ini secara non-yudisial (rekonsiliasi). Setelah melihat bagaimana Raja Willem meminta maaf atas kesalahan yang terjadi di masa lampau. Sudah seharusnya pemerintah berkaca dengan mengakui permintaan maaf Raja Willem sebagai sebuah itikad baik, artinya negara juga dapat membenarkan bahwa meminta maaf dan menyelesaikan kasus pelanggaran HAM merupakan ide yang bagus. Keadilan perlu ditegakan, mengapa tidak pemerintah lakukan?
Lantas dengan berbagai kenyataan yang kita hadapi, yang sangat berat bagi korban apakah pantas negara terus membiarkan kita berharap dan berdoa tanpa mengamininya? Tentu kita selalu menunggu kabar baik akan hal ini.
Sumber :
https://elsam.or.id/pemerintah-indonesia-harus-mengakui-dan-meminta-maaf-atas-berbagai-kasus-pelanggaran-ham-masa-lalu/
https://tirto.id/belgia-minta-maaf-atas-kejahatan-masa-lalu-indonesia-kapan-dlyE
https://historia.id/politik/articles/ariel-heryanto-negara-harus-meminta-maaf-PKNqg
https://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/04/160428_trensosial_mintamaaf
https://majalah.tempo.co/read/kolom/112633/surat-ter-buka-buat-pramoedya-ananta-toer?
https://boemipoetra.wordpress.com/2013/03/09/gm-vs-pram/
https://tirto.id/solusi-tragedi-1965-langkah-maju-gus-dur-langkah-mundur-jokowi-dcz1
https://nasional.tempo.co/read/1317823/raja-belanda-telah-akui-indonesia-secara-politik-dan-moral/full&view=ok
https://news.detik.com/internasional/d-4689141/presiden-jerman-meminta-maaf-atas-kejahatan-nazi-di-polandia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *