Penyakit Kuning Dalam Dinamika Perkembangan Pers
( oleh : Max Tollenar )
Pasca Reformasi, pemerintah mulai mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang didasari pada pemenuhan hak dan kebebasan terhadap akses informasi dan komunikasi guna memenuhi salah satu tuntutan agenda Reformasi. Bentuk pemenuhan terhadap hak dan kebebasan informasi tersebut terlihat dari upaya pembebasan Pers dari belenggu kekuasaan, seperti pembebesan SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers), pembebasan organisasi kewartawanan dan lain sebagainya. Namun, tampaknya justru malah berpotensi memunculkan krisis yang baru bagi media massa nasional. Pers nasional yang mendapat kekuatan bersumber pada kebebasan yang diberikan pemerintah, disikapi oleh beberapa pihak untuk menafsirkan kebebasan pers sebagai “kebablasan pers”. Hal inilah yang memengaruhi surutnya kepercayan pada pers nasional. Kuantitas pers pasca berlakunya kebijakan tersebut memang bertambah namun hal ini tidak diiringi dengan pertambahan kualitas dari insan pers yang mulai muncul dan tumbuh berkembang. Terlihat dari timbulnya yellow journalism yang dapat dikatakan sebagai “penyakit” dan memberikan warna tersendiri bagi perkembangan pers di iIndonesia
Yellow journalism atau biasa dikenal dengan “Koran Kuning” adalah jenis jurnalisme dengan judul-judul yang bombastis, tetapi topik dari berita yang dibahas tidak ada isinya. Menurut David spancer (2007) jurnalisme kuning identik dengan kaburnya fakta, fiksi dan hiperbola hingga menekankan pada hal-hal negatif. Warna kuning diidentikan dengan model jurnalisme seperti ini karena kuning merupakan simbol dari waktu dan semua yang tidak biasa di kehidupan yang modern ini. Dewasa ini, mungkin kita tidak asing dengan tipe jurnalisme kuning tersebut, sering ditemukan pada media-media daring dengan jenis pemberitaan yang lebih mengedepankan sisi sensasional. Metode yang digunakan pada model jurnalisme yang demikian adalah SCC ( Sex, Conflict, Crime ). Jurnalisme kuning memfokuskan pemberitaan pada hal-hal yang dapat berpotensi menimbulkan konflik dan gosip dengan tujuan untuk menarik perhatian pembaca sebanyak-banyaknya.
Hadirnya jurnalisme kuning tentu menimbulkan polemik baru dalam kebebasan pers. Jurnalisme dengan model seperti ini bertentangan dengan peran dan fungsi pers sebagaimana mestinya. Pers berperan sebagai wadah untuk mencari, menyebarkan dan menyampaikan informasi yang faktual, menjadi wadah opini publik dan saluran informasi masyarakat. Harold D. Lasswell dan Charles R. Wright menyebutkan bahwa pers berfungsi sebagai pengamat sosial, alat sosialisasi, dan korelasi sosial. Alih-alih berperan sebagaimana yang disebutkan sebelumnya, jurnalisme kuning justru menyimpangi fungsi dan peran pers demi mendapat perhatian pembaca. Lantas bagaimana Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers menyikapi jurnalisme kuning ini?
Istilah pers pada masa kini mengarah pada media komunasi massa. Hal ini dikarena istilah pers pun berkembang mengikuti dinamika dari media komunikasi yang kini kian beragam baik cetak maupun digital. Pada awal mula istilah ini berkembang, pers identik dengan media cetak, sesuai dengan arti kata pers sendiri yang berasal dari bahasa inggris press yang artinya menekan. Pada masa lalu, proses pencetakan dilakukan melalui penekanan. Rangkaian kalimat-kalimat yang telah disusun sedemikian rupa dan sesuai dengan kemauan sang penulis dicetak dengan cara ditekan pada suatu lembar kertas, sehingga huruf tersebut dapat berpindah ke kertas dan dapat disebarluaskan. Namun seiring dengan perkembangan zaman, definisi mengenai pers mengalami fluktuasi atau mengalami perluasan makna. Para ahli memiliki pendapat sendiri mengenai arti pers. Menurut Oemar Seno Adji pers terbagi menjadi dua, yakni pers dalam arti sempit dan luas. Pers dalam arti sempit ialah penyiaran gagasan serta perasaan seseorang dengan cara yang tertulis, sedangkan pers dalam arti luas ialah memancarkan sebuah pikiran atau juga gagasan serta perasaan seseorang baik menggunakan kata-kata tertulis maupun lisan dan menggunakan seluruh media yang ada. Di indonesia sendiri, istilah pers ditentukan secara limitatif dalam UU Pers. Pasal 1 huruf (a) menuliskan, pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, mengelola, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi baik dalam tulisan, suara, gambar serta data grafik maupun dalam cetak lainya dengan menggunakan media elektronik, cetak dan segala jenis saluran yang tersedia.
Berkenaan dengan fungsi pers, pasal 3 ayat (1) UU Pers menuliskan bahwa pers memiliki fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan control sosial dan juga pers nasional dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi. Fungsi informasi berarti menyajikan informasi yang faktual kepada masyarakat untuk menyamapaikan apa yang terjadi dalam masyarakat dan negara. Fungsi Pendidikan memiliki makna, pers diharapkan dapat memuat tulisan-tulisan yang mengandung pengetahuan sehinnga dapat meningkatkan wawasan dan pengetahuan masyarakat. Fungis hiburan merupakan “ice breaking” yang difasilitasi oleh pers untuk mengimbangi berita-berita berat (hard news). Fungsi kontrol sosial merupakan sikap pers terhadap perorangan atau kelompok dengan maksud untuk memperbaiki keadaan dalam bentuk tulisan. Hal ini dibuktikan dengan peran pers yang termasuk dalam pilar demokrasi, besarnya peran pers pada masa sekarang membuat kekuasaan pers digolongkan kedalam kekuasaan keempat (fourth estate). Negara yang menganut sistem pemisahan kekuasaan seperti Indonesia, Pers adalah pilar demokrasi setelah legislative, eksekutif, dan yudikatif. Kehadiran pers dalam sistem demokrasi dimaksudkan untuk mengontrol dan mengawasi dari pelaksaan tiga kekuasaan.Terakhir, pers juga dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi. Fungsi pers sebagai ekonomi adalah perusahaan yang bergerak dibidang penerbitan. produk pers diolah kemudian menjadi berita yang memiliki nilai di masyarakat. Selain itu, Pers dapat membuka kolom iklan dengan tujuan untuk menjaga kelangsungan perusahaan pers itu sendiri.
Batasan definisi pers berdasarkan UU Pers tersebut juga menguatkan pengakuan terhadap fungsi pers yang ada di indonesia. Pertama, pers adalah lembaga sosial, hal ini bermaksud bahwa pers yang hidup di Indonesia harus berpikir, bersikap, dan berperilaku sebagaimana lembaga sosial lainya yang lebih mengutamakan pengabdian terhadap pengembangan kehidupan masyarakat. Kedua, pers di indonesia sejatinya adalah lembaga kemasyarakatan, hal ini diartikan sebagai bahawa pers harus dapat berperan sebagai motor penggerak dalam pengembangan ide, gagasan, dan buah pemikiran bagi kegiatan atau aktivitas masyarakat untuk kemajuan bangsa dan negara. Ketiga, pers sebagai wahana komunikasi massa, oleh karena itu segala kegiatan media massa sangat bergantung pada eksistensi pers, besar atau kecilnya pengaruh media massa terhadap kehidupan masyarakat sangat ditentukan oleh eksistensi pers dalam mengembangkan kegiatan jurnalisitknya. Terakhir, pers sebagai pelaksana kegiatan jurnalisitik, adalah posisi strategis bagi pers dalam mencari, mengelola, menyimpan, dan menyampaikan informasi. Fungsi pers sebagai Kontrol sosial lebih luasnya adalah pada prakteknya di banyak negara, pers menjadi bagian penting dan menempati posisi yang mumpuni dalam bergeraknya roda pemerintahan yang demokratis. Lembaga ini menjadi bagian yang memberikan kontribusi penyebaran informasi yang sesuai dengan visinya membenarkan dan meluruskan informasi yang kemungkinan menimbulkan konflik di ranah kehidupan berbangsa dan bernegara.
Berkenaan dengan peran pers, pasal (6) UU Pers menuliskan pers nasional berperan untuk memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui, menegakan nilai-nilai demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang akurat, tepat, dan benar serta melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum guna memperjuangkan keadilan dan kebenaran. Peran pers seyogyanya sebagai pengontrol dan pemantau dari kebijakan yang dikeluarkan oleh pemegang kekuasaan, serta sebagai wadah untuk memberikan edukasi informasi kepada masyarakat.
Namun kini dengan munculnya jurnalisme kuning pergeseran mengenai peran dan fungsi pers hanya melayani kebutuhan dan keinginan “pasar” semata. Alhasil, produk-produk yang dikeluarkan pun kian bertolak belakang dengan urgensi peran pers sendiri. Hal ini dapat dikatakan sebagai bentuk degradasi yang dialami oleh pers nasional, menimbulkan ketikdapercayaan masyarakat terhadapat produk-produk yang dikeluarkan. Perlu dipertimbangkan, dunia pers adalah dunia yang penuh dengan idealism. Pers tanpa idealisme dalam hal ini menjual berita hanya untuk keuntungan finansial semata tentu tidaklah berbeda dengan perusahaan-perusahan lainya. Pers jika digunakan secara optimal dalam artian sesuai dengan hakikat dan fungsinya, tentunya dapat menjadi suatu kekuasan yang baru. Pers yang idealis ialah media yang benar-benar melakukan tugasnya dengan membenarkan apa yang benar dan menyalahkan apa yang salah, walaupun kebenaran dan kesalahan itu bersifat relatif. Setidaknya pers dapat berpegang teguh pada hakikat dan fungsi pers itu sendiri. Hal ini kian mempertegas peran dan fungsi pers bukanlah hanya persoalan untung-rugi, karena fungsi dan peran pers tidak sebatas dalam kubangan finansial semata.