Menyorot Difabel Dalam Ruang Masyarakat : Refleksi  Drama ‘Extraordinary Attorney Woo

Para pecinta drama korea tentu sudah familiar dengan bagaimana drama korea mampu  menggambarkan berbagai dinamika masyarakat. Contohnya drama-drama seperti ‘Hospital Playlist’, ‘Reply 1998’, ‘Our Blues’, dan drama lainnya yang mampu memikat penonton dengan alur cerita yang ringan namun erat dengan kehidupan sehari-hari. Drama ‘Extraordinary Attorney Woo’ pun demikian. Bercerita tentang pengacara pertama dengan diagnosis autisme di Korea Selatan bernama Woo Young Woo (diperankan oleh Park Eun Bin) yang bekerja di firma hukum ternama bernama Hanbada. Drama ini dikemas dengan apik oleh Penulis Moon Ji Won yang mampu menampilkan berbagai realita di masyarakat Korea Selatan utamanya di sektor pekerja hukum. Sulitnya mencari pekerjaan, beban kerja yang tinggi di kalangan pekerja Korea Selatan, ketimpangan antara masyarakat kota dan masyarakat desa, dan tentu saja yang menjadi topik utama, diskriminasi terhadap penyandang disabilitas sebagai nilai jual dari drama korea yang satu ini.

Drama ini mendapat berbagai reaksi, baik positif maupun negatif di masyarakat. Pertama, pengambilan karakter tokoh utama yang digambarkan sebagai penyandang disabilitas mendapat banyak sorotan. Ini tentu menjadi perspektif baru bagi masyarakat dan dapat memberikan perhatian lebih terhadap para penyandang disabilitas. Kritikan yang datang terhadap drama ini juga tak sedikit datang dari kalangan autis itu sendiri. Kedua, penggambaran penyandang autis di drama tersebut tampaknya masih meromantisasi individu autis dengan kecerdasan luar biasa dan IQ di atas rata-rata. Rekan-rekan di sekitar Woo Young Woo juga digambarkan sangat suportif dengan kondisi disabilitas mental yang dimilikinya sebagai suatu perbedaan yang wajar dijumpai. Meskipun kedua hal ini dapat dikatakan sebagai sesuatu yang positif, nyatanya ini masih jauh dengan kenyataan yang hadir di masyarakat.

Woo Young Woo digambarkan cukup beruntung karena memiliki support system berupa keluarga dan teman-teman yang sangat memahami kondisi dan keterbatasannya. Namun,  masyarakat umum yang tidak mengenal Woo Young Woo dengan baik maupun yang tidak pernah hidup berdampingan dengan lingkungan difabel masih kerap menempelkan stigma-stigma tertentu pada para penyandang disabilitas dan menganggap wajar demikian. Itu jelas dapat dirasakan begitu Woo Young Woo terjun ke dunia kerja, dimana ia bisa menjumpai beragam jenis manusia dengan segala tabiat ke-manusia-annya yang luar biasa. Orang-orang yang dapat memaklumi Woo Young Woo lagi-lagi hanya dari kalangan orang terdekatnya saja. Pihak yang tidak pernah berinteraksi dengan penyandang disabilitas mau tak mau hanya berkaca dari label klasik yang disematkan kepada orang-orang istimewa seperti Woo Young Woo. ‘Seorang autis yang sibuk dengan dunianya sendiri, sulit bergaul, dan dapat  mengamuk kapan saja.’

Beban mental sebagai seorang difabel

Tentu saja, sebuah drama dapat memuat hal-hal yang jauh berbeda dari apa yang ada di masyarakat. Hal ini sangat mungkin dan diperbolehkan dalam dunia fiksi. Hal yang dapat penulis amati dari drama ini adalah terlepas dari adanya dorongan dan penerimaan dari orang-orang di sekitarnya, sosok Woo Young Woo kerap kali masih ragu-ragu dalam mengambil sebuah keputusan diluar kecakapannya sebagai individu dewasa. Ditambah keterbatasan khusus yang dimilikinya, ia masih kerap dipertanyakan terkait kecakapannya dalam membuat keputusan. 

Woo Young Woo digambarkan sebagai seorang lulusan hukum terbaik dari Universitas Nasional Seoul dan telah terkualifikasi untuk menjadi seorang pengacara. Namun masyarakat, klien, bahkan sesama petugas hukum lainnya di lapangan masih banyak yang mempertanyakan –meskipun lebih cenderung merendahkan– kompetensi dari Pengacara Woo Young Woo. Ketika dihadapkan dalam suatu kasus dimana ada sosok klien autis yang diwakili oleh Pengacara Woo Young Woo, pihak jaksa penuntut umum mempertanyakan kecakapan dari Woo Young Woo selaku pembela dari tersangka dan justru membandingkan kondisi mental keduanya. Padahal yang perlu dipahami dari spektrum autis ataupun difabel secara keseluruhan, adalah gejala yang ada pada satu individu tidak selalu ditemui pada individu lainnya. Mudah saja, kita mengakui bahwa setiap orang terlahir berbeda. Bahkan saudara yang lahir dari orang tua yang sama bisa memiliki karakter dan tampilan fisik yang berbeda, apalagi antara penyandang disabilitas satu dengan lainnya.

Kita bisa apa?

Di Indonesia, sudah ada regulasi yang mengatur tentang difabel. UU No 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas menyebutkan bahwa, “Penyandang Disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.” Meskipun sudah menjabarkan mengenai macam-macam kategori penyandang disabilitas beserta hak-haknya, namun dalam praktiknya fokus dari peraturan ini –dan juga peraturan-peraturan lainnya– masih terbatas pada pemenuhan infrastruktur. Adapun disebutkan dalam undang-undang ini, salah satu hak para penyandang disabilitas adalah hak bebas dari stigma sebagaimana disebutkan dalam Pasal 7.

Pada kisah Woo Young Woo, kita bisa melihat bahwa generalisasi terhadap penyandang disabilitas melalui stigma atau label masih sering ditemui di masyarakat. Generalisir terhadap suatu kelompok sendiri saja sudah kurang tepat, apalagi generalisasi yang dilakukan kepada kelompok marjinal. Label-label seperti orang jawa yang halus dalam bertutur kata atau orang batak yang berwatak keras untuk menggeneralisir orang-orang dengan latar belakang suku tertentu misalnya. Bagi penyandang disabilitas, hal ini lebih bermacam-macam lagi bentuknya. Misalnya penyandang autisme yang selalu  dianggap memiliki IQ di atas rata-rata atau seorang tuli yang dianggap sama dengan seorang bisu, atau bahkan pelabelan dengan gestur-gestur tertentu. Pelabelan atau Labelling seperti ini merupakan salah satu kesalahan logika berpikir atau disebut dengan distorsi kognitif. Akibatnya, tidak hanya berdampak pada individu yang terkena label, tetapi juga berdampak kepada persepsi masyarakat terhadap kelompok yang mendapat label tersebut. Jika hal ini terus berlanjut, maka akan menjadi sebuah lingkaran setan yang sulit untuk diubah. Persepsi yang biasa menganggap bahwa para penyandang disabilitas adalah seseorang yang  lebih tidak cakap daripada orang-orang ‘normal’ lainnya pun akan terus menjadi stigma yang berjalan di masyarakat. 

Untuk mengubah pola pikir seperti ini, tentu harus dimulai dari diri sendiri. Mulai menerima bahwa setiap orang memiliki berbagai sisi yang berbeda antar individu menjadi satu langkah awal yang tepat. Selanjutnya bisa diteruskan dengan transfer ilmu, baik dengan sosialisasi ke kalangan masyarakat, sekolah-sekolah, atau melalui media sosial. Akun-akun media sosial seperti konekindonesia, genpintar.id, dan silang.ig sudah banyak mengedukasi dan mempromosikan tentang aksesibilitas dan inklusivitas bagi masyarakat difabel di Indonesia. Upaya ini tentu patut mendapat apresiasi atas usaha mereka dalam menyebarluaskan pemahaman terhadap inklusivitas kepada masyarakat umum. Disamping itu, kita juga bisa menebarkan kasih sayang dan kebahagiaan karena itu merupakan hak setiap orang agar terhindar dari diskriminasi. Setiap orang layak mendapat ruang di masyarakat tanpa harus hidup dengan menyandang label atau stigma tertentu.

Untuk membuat sebuah perubahan besar memang selalu tidak mudah. Perubahan bukanlah kisah Candi Roro Jonggrang yang berdiri dalam semalam. 

Penulis : Haniif

Editor : Pratiwi

LPM PRO JUSTITIA

TRANSFORMASI IDE & OBJEKTIFITAS

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *